Bersikap Muahadah,
Mujahadah, Muraqabah, Muhasabah, dan Muaqabah dalam Membangun Hari Esok yang
lebih baik
by Buya Masoed
Abidin
Oleh : H. Mas’oed
Abidin
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ
مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang
yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang)
memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S.
Al Hasyr : 18)
Adalah menjadi
kewajiban setiap orang merancang dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik.
Nabi Muhammad SAW
mengingatkan bahwa seorang akan merugi kalau hari esoknya sama saja dengan hari
ini, bahkan dia menjadi terkutuk jika hari ini lebih buruk dari kemarin.
Seseorang baru dikatan bahagia, jika hari esok itu lebih baik dari hari ini.
jpeg-image-236c397290-pixelstangga-al-haram
Membangun hari esok
yang baik, sesuai dengan ayat (wahyu Allah SWT) di atas dimulai dengan perintah
bertaqwa kepada Allah dan di akhiri dengan perintah yang sama. Ini
mengisyaratkan bahwa landasan berfikir, serta tempat bertolak untuk
mempersiapkan hari esok haruslah dengan taqwa.
Semestinya orang
Mukmin punya langkah antisipatif terhadap kemungkinan yang dapat terjadi esok
disebabkan kelalaian hari ini.
Seorang mukmin sudah
dapat memprediksi dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik, dinamis, lebih
mapan, lebih produktif dari pada hari ini.
Simpulannya, mesti
ada peningkatan prestasi dari hari ke hari. Hari esok dapat berarti masa depan
dalam kehidupan pendek di dunia ini.
Hari esok juga
berarti pula hari esok yang hakiki, yang kekal abadi di akhirat kelak.
Hari esok mesti
dirancang harus lebih baik dari hari ini, dengan meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan melaksanakan lima “M ” ; yaitu Mu’ahadah,
Mujahadah, Muraqabah, Muhasabah, dan Mu’aqabah.[1]
1. Mu’ahadah
Mu’ahadah adalah
mengingat perjanjian dengan Allah SWT. Sebelum manusia lahir ke dunia, masih
berada pada alam gaib, yaitu di alam arwah, Allah telah membuat “kontrak”
tauhid dengan ruh.
Kontrak tauhid ini
terjadi ketika manusia masih dalam keadaan ruh belum berupa materi (badan
jasmani). Karena itu, logis sekali jika manusia tidak pernah merasa membuat
kontrak tauhid tersebut.
Mu’ahadah konkritnya
diikrarkan oleh manusia mukmin kepada Allah setelah kelahirannya ke dunia,
berupa ikrar janji kepada Allah. Wujudnya terefleksi minimal 17 kali dalam
sehari dan semalam, bagi yang menunaikan shalat wajib, sebagaimana tertera di
dalam surat Al Fatihah ayat 5 yang berbunyi: “Iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’in”. Artinya, engkau semata wahai Allah yang kami sembah, dan engkau
semata pula tempat kami menyandarkan permohonan dan permintaan pertolongan.
Ikrar janji ini
mengandung ketinggian dan kemantapan aqidah. Mengakui tidak ada lain yang
berhak disembah dan dimintai pertolongan, kecuali hanya Allah semata.
Tidak ada satupun
bentuk ibadah dan isti’anah (Permintaan Pertolongan) yang boleh dialamatkan
kepada selain Allah SWT.[2]
Mu’ahadah yang lain
adalah ikrar manusia ketika mengucapkan kalimat “Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanya kuperuntukkan (ku-abdikan) bagi Allah SWT,
Tuhan semesta alam.”
2. Mujahadah
Mujahadah berarti
bersungguh hati melaksanakan ibadah dan teguh berkarya amal shaleh, sesuai
dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT yang sekaligus menjadi amanat
serta tujuan diciptakannya manusia.
Dengan beribadah,
manusia menjadikan dirinya ‘abdun (hamba) yang dituntut berbakti dan mengabdi
kepada Ma’bud (Allah Maha Menjadikan) sebagai konsekuensi manusia sebagai hamba
wajib berbakti (beribadah).
Mujahadah adalah
sarana menunjukkan ketaatan seorang hamba kepada Allah, sebagai wujud keimanan
dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara perintah Allah SWT kepada manusia adalah
untuk selalu berdedikasi dan berkarya secara optimal.
Hal ini dijelaskan
di dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat: 5,
“Dan katakanlah,
bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui
akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa-apa yang
telah kamu kerjakan.”
Orang-orang yang
selalu bermujahadah merealisasikan keimanannya dengan beribadah dan beramal
shaleh dijanjikan akan mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk menuju
(ridha) Allah SWT hidayah dan rusyda yang dijanjikan Allah diberikan kepada
yang terus bermujahadah dengan istiqamah.
Kecerdasan dan
kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah SWT, tidak terpukau oleh
bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda.
Situasi batin dari
orang-orang yang terus musyahadah (menyaksikan) keagungan Ilahi amat tenang.
Sehingga tak ada kewajiban yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan
Allah yang dilanggar.
Jiwa yang memiliki
rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah sebenarnya yang disebut mujahidin
‘ala nafsini wa jawarihihi, yaitu orang yang selalu bersungguh dengan nuraninya
dan gerakannya.
Syeikh Abu Ali Ad
Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa menghias lahiriahnya dengan mujahadah, Allah
akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah.”
Imam Al Qusyairi an
Naisaburi [3] mengomentari tentang mujahadah sebagai berikut:
« Jiwa mempunyai dua
sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti
hawa nafsu, Kedua ingkar terhadap ketaatan.
Manakala jiwa
ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan kendali taqwa. Manakala jiwa
bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan, wajib dilunakkan dengan menolak
keinginan hawa nafsunya.
Manakala jiwa
bangkit memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar.
Sesungguhnya
bertahan dalam lapar (puasa) dan bangun malam di perempat malam (tahajjud),
adalah sesuatu yang mudah.
Sedangkan membina
akhlak dan membersihkan jiwa dari sesuatu yang mengotorinya sangatlah sulit. »
Mujahadah adalah
suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa saja yang ingin kebersihan
jiwa serta kematangan iman dan taqwa.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد ِ * إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ
عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ * مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاَّ لَدَيْهِ
رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Dan sesunggunya
Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya
dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua
orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan
yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya
melainkan adal di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Q.S. Qaaf:
16-18).
3. Muraqabah
Muraqabah artinya
merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong
manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia
hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai
kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian (mawas
diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang
hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad
Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, « “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas
dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi)
oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam
perilaku lahiriahmu sehari-hari.” »
Syeikh Abu Utsman Al
Maghriby mengatakan, « “Abu Hafs mengatakan kepadaku, ‘manakala engkau duduk
mengajar orang banyak jadilah seorang penasehat kepada hati dan jiwamu sendiri
dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh ramainya orang berkumpul di
sekelilingmu, sebab mungkin mereka hanya melihat wujud lahiriahmu, sedangkan
Allah SWT memperhatikan wujud batinmu.” »
Dalam setiap keadaan
seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari ujian yang harus disikapinya
dengan kesabaran, serta nikmat yang harus disyukuri. Muraqabah adalah tidak
berlepas diri dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT yang mesti
dilaksanakan, dan larangan yang wajib dihindari.
Muraqabah dapat
membentuk mental dan kepribadian seseorang sehingga ia menjadi manusia yang jujur.
« Berlaku jujurlah
engkau dalam perkara sekecil apapun dan di manapun engkau berada.
Kejujuran dan
keikhlasan adalah dua hal yang harus engkau realisasikan dalam hidupmu. Ia akan
bermanfaat bagi dirimu sendiri.
Ikatlah ucapanmu,
baik yang lahir maupun yang batin, karena malaikat senantiasa mengontrolmu.
Allah SWT Maha Mengetahui segala hal di dalam batin.
Seharusnya engkau
malu kepada Allah SWT dalam setiap kesempatan dan seyogyanya hukum Allah SWT
menjadi pegangan dlam keseharianmu.
Jangan engkau turuti
hawa nafsu dan bisikan syetan, jangan sekali-kali engkau berbuat riya’ dan
nifaq. Tindakan itu adalah batil. Kalau engkau berbuat demikian maka engkau
akan disiksa.
Engkau berdusta,
padalah Allah SWT mengetahui apa yang engkau rahasiakan. Bagi Allah tidak ada
perbedaan antara yang tersembunyi dan yang terang-terangan, semuanya sama.
Bertaubatlah engkau
kepada-Nya dan dekatkanlah diri kepada-Nya (Bertaqarrub) dengan melaksanakan
seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.” » [4]
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إلاَّ مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى
ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ اْلأَوْفَى وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى وَأَنَّهُ
هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى وَأَنَّهُ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا
“Dan bahwasanya
seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan
bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan
diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya
kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu), dan bahwasanya DIA yang
menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya DIA yang mematikan dan
yang menghidupkan.” (QS. An-Najm: 39-44)
4. Muhasabah
Muhasabah berarti
introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan. Manusia
yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri
untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir.
Dengan melakasanakan
Muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan waktu dan jatah hidupnya
dengan sebaik-baiknya, dengan penuh perhitungan baik amal ibadah mahdhah maupun
amal sholeh berkaitan kehidupan bermasyarakat. Allah SWT memerintahkan hamba
untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketaqwaannya kepada
Allah SWT.
Diriwayatkan bahwa
pada suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. melaksanakan shalat shubuh.
Selesai salam, ia menoleh ke sebelah kanannya dengan sedih hati. Dia merenung
di tempat duduknya hingga terbit matahari, dan berkata ;
« “Demi Allah, aku
telah melihat para sahabat (Nabi) Muhammad SAW. Dan sekarang aku tidak melihat
sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat
pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah,
mereka membaca kitab Allah dengan bergantian (mengganti-ganti tempat) pijakan
kaki dan jidat mereka apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon
bergetar diterpa angin, mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian
mereka dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan
mereka).” »
Muhasabah dapat
dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiyah serta mempergunakan waktu dengan
sebaik-baiknya. Berbicara tentang waktu, seorang ulama yang bernama Malik bin
Nabi berkata ; « “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru, “Wahai
anak cucu Adam, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena
aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.” » [5]
Waktu terus berlalu,
ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran
waktu dan melupakan nilainya. Allah SWT bersumpah dengan berbagai kata yang
menunjuk pada waktu seperti Wa Al Lail (demi malam), Wa An Nahr (demi siang),
dan lain-lain.
Waktu adalah modal
utama manusia. Apabila tidak dipergunakan dengan baik, waktu akan terus
berlalu. Banyak sekali hadits Nabi SAW yang memperingatkan manusia agar
mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin.
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا َكثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ
وَ الفَرَاغُ
“Dua nikmat yang
sering disia-siakan banyak orang: Kesehatan dan kesempatan (waktu luang).” (H.R.
Bukhari melalui Ibnu Abbas r.a).
5. Mu’aqabah
Muaqabah artinya
pemberian sanksi terhadap diri sendiri. Apabila melakukan kesalahan atau
sesuatu yang bersifat dosa maka ia segera menghapus dengan amal yang lebih
utama meskipun terasa berat, seperti berinfaq dan sebagainya.
Kesalahan maupun
dosa adalah kesesatan.
Oleh karena itu agar
manusia tidak tersesat hendaklah manusia bertaubat kepada Allah, mengerjakan
kebajikan sesuai dengan norma yang ditentukan untuk menuju ridha dan ampunan
Allah.
Berkubang dan hanyut
dalam kesalahan adalah perbuatan yang melampaui batas dan wajib ditinggalkan.
Di dalam ajaran
Islam, orang baik adalah orang yang manakala berbuat salah, bersegera mengakui
dirinya salah, kemudian bertaubat, dalam arti kembali ke jalan Allah dan
berniat dan berupaya kuat untuk tidak akan pernah mengulanginya untuk kedua
kalinya.
Shadaqallahul’azhim.
Allahu A’lamu Bissawab.
Catatan kaki ;
[1] Syeikh Abdullah
Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’
[2] Demikian
komentar Imam as Syaukani dalam kitab tafsirnya ‘Fathul Qadir’ dan Syeikh Ali
As Shabuni dalam kitab tafsirnya ‘Shafwatut Tafaasir’.
[3] Kitab tasawuf,
“Risalatul Qusyairiyah”.
[4] Syeikh Abdul
Kadir Jailany memberikan nasehat kepada kita sebagaimana yang terdapat dalam
kitabnya Al Fathu Arrabbaani wa Al Faidh Ar Rahmaani.
[5] Malik bin Nabi
dalam bukunya Syuruth An Nahdhah