Akhir akhir ini pendengaran kita di sibukkan oleh ramainya pengajuan gelar pahlawan bagi Abdur Rahman Wahid atau yang kita kenal dengan gus Dur (setelah beliau di panggil yang maha Kuasa) oleh sebagian masyarakat yang mencintai beliau namun sebagian lagi ada yang menolak dengan berbagai alasan terutama dari kalangan Islam yang di cap sebagai Islam garis keras atau Islam Fundamental.
Tidak berlebihan mungkin tuntutan mereka dari alasan yang dikemukannya, karena terlepas dari kontroversi pemikirannya, paling tidak beliau pernah memimpin bangsa ini walau hanya 1 tahun lebih, dan dalam masa kepemimpinannya ada hal positif yang dirasakan oleh sebagian masyarakat, walau pada sebagian masyarakat yang lain malah sebaliknya, apalagi yang berkaitan dengan tragedi Ambon,karena dalam pemerintahan meski sebagai orang no 1 di negri ini beliau tidak bekerja sendiri, dan hukum positif di negri kita mengharuskan seorang mantan presiden diperlakukan sebagaimana layaknya, dan Negara merasa perlu untuk memberikan penghormatan tersendiri bagi setiap mantan presiden baik yang berupa gelar pahlawan maupun sekedar bintang jasa, sebagai konpensasi dari jasa-jasanya selama Negara daalam kepemimpinanya.
Sebagai umat Islam tentunya kita harus mampu dan jeli membedakan antara seseorang yang berjuang untuk bangsanya dan berjuang untuk agamanya, atau antara orang yang pantas di sebut pahlawan dan layak di sebut syuhada, menurut hemat saya gus Dur adalah pahlawan dari demokrasi, kebebasan berfikir atau liberalisme kesamaan agama atau pluralisme dan pahlawan bagi terbangunnya paham sekuler, (hal ini berdasarkan dari buku buku beliau dan stetmen-stetmennya).
Adapun yang selanjutnya adalah gelar Syuhada tentulah kita telah fahami secara bersama bahwa hal tersebut hanyalah pantas di berikan kepada seseorang yang berjuang untuk kepentingan agamanya,tentunya Islam . Syuhada jauh lebih mulia dari pahlawan yang dalam perjuangannya tersekat dengan yang namanya teritorial, sedangkan syuhada melampui batas negri atau lintas Negara, karena bagi mereka dimana Islam tertindas di situ mereka terjun berjuang baik dengan lisan, harta, darah, air mata bahkan nyawa sekalipun mereka pertaruhkan untuk izzatul Islam wal Muslimin.
Maka, akan lebih ariflah kalau kita menilainya sesuai fakta yang nampak dari hasil pemikirannya bukan dari sesuatu yang tersembunyi di balik stetmennya,karena masyarakat akan melihat dzahirnya ungkapan bukan penjabaran dari orang terdekatnya yang tentunya setiap penyampai selalu berbeda menerjemahkannya, yang pada akhirnya menimbulkan berbagi penafsiran yang kontroversi dan ujung ujungnya membingungkan masyarakat,. Dalam hal ini rasulullah sudah cukup memberikan contoh “ yaitu beliau selalu mengulang ulang sabdanya bahkan samapi 3 kali agar sahabat mengerti dan faham, bukankah ayat yg pertama kali turun juga di ulang sampai 3 kali oleh Jibril. Intinya agar apa yang di sampaikan betul betul difahami. Wallau a;lam bissawab.
Silahkan baca artikel lainnya yang terkait dengan pos di atas
0 komentar
Posting Komentar
Sampaikan komentar anda di bawah ini