pos giv


Malam mulai beranjak , diiringi gerimis yang sudah menampakkan kehadirannya dari sejak sore, malam itu aku dan suamiku menghadiri  pernikahan salah seorang akhwat, al hamdulillah bisa menghadiri undangannya, undangan salah seorang yang aku kenal cukup sopan, baik dalam akhlaq maupun cara berbusana, usai ramah-tamah kami pun pulang , namun ada yang mengganjal dalam hati saat menyaksikan sang akhwat melepas masa lajangnya di kursi pelaminan, yah !.. pakaian pengantinnya bukan pakaian Muslim,. . dada nyaris terbuka, dgn rambut terurai ,memang tampak cantik, mungkin karena selama ini auratnya tersembunyi di balik gaun yang ia pakai sebagai wujud ketaatan kepada Allah.

Pakaian adat “katanya, agak sedikit terbuka,gak apa-apa !. hanya sekali ini, nanti pakai jilbab lagi , saat kami tiba menjelang shalat isya , suamiku bertanya “ sudah shalat maghrib ? belum kak (karena ia bekas santrinya) kenapa ? “enggak boleh sama perias, meriasnya susah katanya.. suamiku diam.

Saat pulang ada raut kecewa pada suamiku , ia berkata  , “kakak yang tidak berhasil mentarbiyahnya  atau dia terkekang oleh kehendak orang tua dan suaminya, kasihan..padahal dulu ia sangat taat.

Cerita di atas mengingatkan aku saat menjelang hari pernikahan, al hamdulillah aku sudah berjilbab pada saat itu, namun orang tuaku minta agar gaun pernikahan memakai pakaian adat  solo dengan memakaikan kembang goyang dirambutnya...aku tdk setuju dgn keinginan mereka lalu hal ini aku sampaikan pada calon suamiku, tentu saja ia juga tidak setuju,  karena aku paham betul pakaian adat, selain adat Padang tidak ada yang memakai kerudung, yang pasti aku harus membuka jilbab, aku juga harus menjaga wibawa calon suamiku, karena pasti yang datang sebagian besar adalah Ikhwan dan Akhwat, bagaimana kata mereka kalau awal pernikahan saja sudah melanggar syareat.

Dengan telaten ia mengajariku bagaimana membujuk orang tua dengan bahasa yang santun dan tidak menggurui, al hamdulillah kedua orang tuaku mau menuruti kehendak kami, toh pada saat itu (apalagi sekarang) rias pengantin dengan baju Muslim  sudah banyak dan tidak kalah keren, selanjutnya yang tidak boleh lupa adalah memberi tahu kepada perias , bahwa bila wudhu batal ,mereka harus siap untuk merias ulang, karena akan shalat Asyar, maghrib atau Isya,, calon suamiku bilang, “mereka harus mau , kita bukan arogan, mereka kan kita bayar !.. hmm betul juga,.. siapa takut !.. dan ternyata mereka tidak keberatan malah mempersilahkan, lagian mereka kan juga Muslim !

Pengalaman saya di atas sebenarnya bisa diterapkan untuk para akhwat yang akan melangsungkan pernikahan dengan riasan pakaian adat, kita bisa menolak bila tidak sesuai dengan syareat, sayang sekali bila akhir lajang kita, kita akhiri dengan melawan sesuatu yang selama ini kita pertahankan karena ke imanan kita, jangan berkata “hanya sekali ini, karena justeru sebaliknya, sekali , itulah yang merusak usaha gigih yang sekian lama kita amalkan, naudzu billah. ibarat kata pepatah " panas setahun di hapus hujan shari.

Yakinlah !. bila kita menyiasatinya dengan bahasa yang sopan dan sikap yang santun baik kepada orang tua, mertua, calon suami mereka akan mengerti, bahkan boleh jadi akan mendukung kita.

Silahkan baca artikel lainnya yang terkait dengan pos di atas

0 komentar

Posting Komentar

Sampaikan komentar anda di bawah ini